What's new

Myanmar Defence Forum

well. may be or may be not. if india provide full loan for our subs , we will happily accept it. :P joint own ? brilliant ..!! u should ask BD navy to jointly own with India. so no need to worry about shortage of sub in any case. :D

We already jointly own theirs by virtue of them acquiring :D...its why no one will give them any proper goodies or real military networking.

Indians... :lol:

I had a good laugh.
Its Red Fort right?

Polevaulter bongloid laughing...one of the worlds funniest sights....when the world cares in first place :)
 
Saturday 22 July 2017, 10:05 WIB
Indonesian School of Relief in New Rakhine Utilized by Rohingya Students

Yangon
-
From a physical point of view, the building in the form of script I stands out because it is made of concrete, ceramic floor, roofed and painted brightly between bamboo-shaped huts and leaf-roofed with tarpaulin patches.

Inside were three rooms with rows of wooden benches and chairs, a blackboard in front of the room, while there were seats and a single bench in the corner. Starting at 08.00 local time until 15:00 local time the building was filled with children.

"There are 395 students in this school We need to add teachers but the government only provides four teachers How can we teach well We teach full day, morning classes starting at 08.00 local time until 12:00 local time The afternoon class starts at 13:00 Local until 15:00 local time, "said one teacher M. Amin.

That is the picture of the aid school of the Indonesian people, channeled by the humanitarian Justice for Peoples Justice (PKPU), for the conflict areas of Rakhine. The school was inaugurated by Indonesian Foreign Minister Retno Marsudi in January 2017.

But one classroom was already leaking so no longer used.

For decades, the northern state of Myanmar has experienced sectarian conflict between the Buddhist ethnic majority Rakhine and the generally Muslim minor Rohingya.

When Myanmar authorities banned international NGOs from entering areas affected by military operations in Rakhine, several Indonesian NGOs have been operating there since 2012, including PKPU.

An Indonesian aid school is expected to be a peacekeeping pad in Myanmar
The refugees of his Spirit were crammed into the camp of Bangladesh
Hundreds of thousands of Rohingyas escaped from Myanmar to Bangladesh
Initially, this school is being used by cross-ethnic students, such as Rakhine, Chin and Rohingya ethnic groups, leading to a mixture that leads to peace at the younger generation level.

But that may be a hope for this phase because the Indonesian aid school in Hla Ma Chay village, on the outskirts of Rakhine's capital, Sittwe, is only used by Rohingya students.

'Two versions of names similar to Orba'
Four of his teachers are Rohingyas, their principals are Rakhine but only come to school on special occasions. They are paid by the Rakhine state government.

"They are all Rohingya students, no students from the Rakhine community There is a nearby village inhabited by Rakhine people, but the students we are educated are Rohingya children, no Rakhine ethnic students," explained M Amin.

Like the Rohingyas in general in Myanmar, he has two names: M Amin the name Rohingya and Maung Chit Khin, the name of Myanmar. This condition is similar to the New Order era in Indonesia when Chinese citizens commonly adopt local names.

I also ask why there are no students from other ethnic groups in the school even though near the school neighborhood there are villages inhabited by other communities.

"Why, I do not know We teach Rohingya children Rakhine children study in other schools Before the riots, in the old school before the new building was built, the teacher is a Rakhine," replied M Amin.

"But after the violence happened, the teachers did not come again to teach these Rohingya children, I do not know why they do not teach the Rohingya students anymore, but I think they hate the Rohingya Muslims."

One observer said there was a way out of negative sentiment towards the Rohingyas - which Myanmar does not consider to be a citizen but as a migrant from Bangladesh to be called 'the Bengalis or the Muslims'.

The Rakhine intellectual, Aung Myo Oo, argues that good intentions of opposing groups in society are needed to overcome them.

"At the field level, we must measure the tolerance levels of both Rakhine and other communities and see what they have in common to live side by side, in the end they live on the same land even though the settlements are fragmented.They drink water from the same source, "He explained to BBC Indonesia.

Reconciliation through education?
Unfortunately, according to Aung Myo Oo, for the present stage they seem to be unprepared for not reaching a common ground on how to resolve religious, economic and social conflicts.

On the economic front, for example, the Rakhine community accused the Rohingyas of annexing their ancestral land, while the Rohingyas insisted that Rakhine was his ancestral land as well.

Perhaps, clearly Aung Myo Oo, the tension can be suppressed if the mindset of the younger generation begins to be changed towards reconciliation,



Sabtu 22 Juli 2017, 10:05 WIB (see translation in spoiler button above)
Indonesian School of Relief in New Rakhine Utilized by Rohingya Students
BBC World - detikNews


9ef43e80-08db-4caa-b244-b3e3b99a6328.jpg


Yangon - Dari segi fisik, bangunan berbentuk aksara I itu tampak menonjol karena terbuat dari beton, berlantai keramik, beratap dan bercat cerah di antara gubuk-gubuk berdinding bambu dan beratap daun dengan tambalan terpal.

Di dalamnya terdapat tiga ruang dengan deretan bangku dan kursi kayu, papan tulis di depan ruang, sementara di pojok terdapat kursi dan bangku tunggal. Mulai pukul 08.00 waktu setempat hingga pukul 15.00 waktu setempat gedung itu dipenuhi anak-anak.

"Terdapat 395 siswa di sekolah ini. Kita perlu menambah guru tetapi pemerintah hanya menyediakan empat guru. Bagaimana kami bisa mengajar dengan baik? Kami mengajar sehari penuh, kelas pagi mulai pukul 08.00 waktu setempat hingga pukul 12.00 waktu setempat. Kelas siang mulai pukul 13.00 waktu setempat hingga pukul 15.00 waktu setempat," kata salah seorang guru M. Amin.

Itulah gambaran sekolah bantuan dari rakyat Indonesia, yang disalurkan oleh lembaga kemanusiaan Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), untuk wilayah konflik Rakhine. Sekolah diresmikan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, pada Januari 2017.

Tapi satu ruang kelas ternyata sudah bocor sehingga tak digunakan lagi.

Selama puluhan tahun, negara bagian Myanmar di bagian utara itu telah mengalami konflik sektarian antara mayoritas etnik Rakhine yang beragama Buddha dan kelompok minoritas Rohingya yang pada umumnya Muslim.

Ketika otoritas Myanmar melarang LSM internasional masuk ke daerah-daerah yang terkena dampak operasi militer di Rakhine, beberapa LSM Indonesia sudah beroperasi di sana sejak 2012, termasuk PKPU.

Gagasan awalnya, sekolah ini dimanfaatkan oleh siswa lintasetnik, seperti etnik Rakhine, Chin dan Rohingya sehingga terjadi pembauran yang mengarah ke perdamaian di tingkat generasi muda.

Namun mungkin itu tinggal harapan untuk tahap ini sebab sekolah bantuan Indonesia di Desa Hla Ma Chay, di pinggiran ibu kota Rakhine, Sittwe ini, hanya digunakan oleh siswa-siswa Rohingya.

'Dua versi nama mirip Orba'
Empat gurunya adalah orang Rohingya, kepala sekolahnya orang Rakhine tetapi hanya datang ke sekolah pada acara-acara khusus. Mereka digaji oleh pemerintah negara bagian Rakhine.

"Mereka semua siswa Rohingya, tidak ada siswa dari komunitas Rakhine. Ada kampung di dekat sini yang dihuni oleh orang-orang Rakhine, tapi siswa yang kami didik adalah anak-anak Rohingya. Tidak ada siswa etnik Rakhine," jelas M Amin.

Seperti orang-orang Rohingya pada umumnya di Myanmar, ia punya dua nama: M Amin nama Rohingya dan Maung Chit Khin, nama Myanmar. Kondisi ini sama dengan zaman Orde Baru di Indonesia ketika warga negara dari keturunan Cina lazimnya mengadopsi nama setempat.

Saya juga tanyakan kenapa tidak ada siswa dari etnik lain di sekolahnya padahal di dekat lingkungan sekolah itu ada desa yang dihuni komunitas lain.

"Kenapa? Saya tidak tahu. Kami mengajar anak-anak Rohingya. Anak-anak dari etnik Rakhine belajar di sekolah-sekolah lain. Sebelum kerusuhan, di sekolah yang lama sebelum dibangun gedung baru ini, gurunya adalah orang Rakhine," jawab M Amin.

"Tetapi setelah kekerasan terjadi, para guru tidak datang lagi untuk mengajar anak-anak Rohingya ini. Saya tidak tahu kenapa mereka tidak mengajar siswa Rohingya lagi, tetapi saya pikir mereka membenci orang-orang Muslim Rohingya."

Seorang pengamat mengatakan ada jalan ke luar atas sentimen negatif terhadap kelompok Rohingya -yang oleh Myanmar tidak dianggap sebagai warga negara tetapi sebagai pendatang dari Bangladesh sehingga dipanggil 'orang-orang Bengali atau orang-orang Muslim'.

Cendekiawan asal Rakhine, Aung Myo Oo, berpendapat diperlukan niat baik dari kelompok-kelompok yang bertentangan di masyarakat untuk mengatasinya.

"Di tataran lapangan, kita harus mengukur tingkat toleransi baik dari kelompok Rakhine maupun komunitas lain dan melihat hal yang menjadi kesamaan untuk hidup berdampingan. Pada akhirnya mereka hidup di atas tanah yang sama meskipun permukimannya terpisah-pisah. Mereka minum air dari sumber yang sama," jelasnya kepada BBC Indonesia.

Rekonsiliasi lewat pendidikan?
Sayangnya, menurut Aung Myo Oo, untuk tahap sekarang mereka tampaknya belum siap berdamai karena belum mencapai pijakan bersama tentang bagaimana akan menyelesaikan konflik agama, ekonomi dan kehidupan sosial.

Di sisi ekonomi, misalnya, komunitas Rakhine menuding Rohingya mencaplok tanah leluhurnya, sedangkan kelompok Rohingya bersikukuh Rakhine adalah tanah leluhurnya pula.

Mungkin, jelas Aung Myo Oo, ketegangan dapat ditekan jika pola pikir generasi muda mulai diubah mengarah ke rekonsiliasi, hidup berdampingan, dan saling menerima.

Tapi tampaknya hal itu tidak tercermin dalam kurikulum yang diikuti anak-anak di sekolah di Hla Ma Chay, yang mengikuti kurikulum nasional Myanmar, termasuk mata pelajaran wajib geografi, bahasa Myanmar, dan pendidikan kewiraan yang mengajarkan kecintaan pada negara.

Duta Besar Indonesia untuk Myanmar, Ito Sumardi, yang turut berperan dalam pendirian sekolah bantuan Indonesia, mengesampingkan anggapan bahwa sekolah itu tidak inklusif dan gagal menjadi titian perdamaian di wilayah konflik.

"Kepala sekolahnya beragama Buddha, murid-muridnya kebanyakan orang Muslim. Kenapa komunitas Buddha di sana kurang memanfaatkan? Karena memang sekolah dibangun di tempat yang mayoritas warganya adalah orang Muslim," jelas Dubes Ito Sumardi.

Namun kepala sekolah yang disebutkan oleh Duta Besar Ito Sumardi hanya datang dalam acara-acara khusus sehingga tidak terlibat langsung dalam kegiatan belajar mengajar setiap hari.

Ito Sumardi meyakini pendidikan dan fasilitas-fasilitas lain yang direncanakan akan dibangun pada akhirnya akan dapat merangkul semua kelompok masyarakat.

"Jadi kita kalau melihat bantuan dari Indonesia yang di Sittwe itu memang situasinya belum kondusif, kemudian keinginan masyarakat di situ untuk sekolah masih rendah. Tapi itu adalah salah satu upaya untuk bagaimana, melalui pendidikan, melalui pasar yang direncanakan, melalui rumah sakit, di situlah bisa berkumpul semua komunitas karena mereka secara umum membutuhkannya."

Bagaimanapun, para siswa dari kelompok Rohingya, berharap mereka dapat menimba ilmu sebanyak mungkin dari sekolah SD ini untuk mewujudkan cita-cita mereka.

"Saya ingin menjadi insinyur setelah lulus sekolah," ungkap Ebdullah, 11.

"Saya ingin menjadi guru," kata Um Habiba, 10.

Mereka mungkin masih terlalu belia untuk memahami bahwa setelah lulus dari sekolah ini, maka akses ke pendidikan yang lebih tinggi sangat terbatas bagi mereka.

Soalnya, kelompok etnik mereka tak masuk dalam daftar 135 etnik yang resmi diakui di Myanmar sehingga mereka tidak boleh masuk ke sekolah-sekolah negeri. Adapun untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi swasta akan terhambat oleh biaya.

Untuk sementara inilah sarana pendidikan resmi di Desa Hla Ma Chay yang menjadi tumpuan bagi 1.700 penduduk Rohingya itu. ***

(nvc/nvc)

https://news.detik.com/bbc-world/d-...a-di-rakhine-baru-dimanfaatkan-siswa-rohingya
 
We already jointly own theirs by virtue of them acquiring :D...its why no one will give them any proper goodies or real military networking.



Polevaulter bongloid laughing...one of the worlds funniest sights....when the world cares in first place :)
lol and even still want to against India. :D
Saturday 22 July 2017, 10:05 WIB
Indonesian School of Relief in New Rakhine Utilized by Rohingya Students

Yangon
-
From a physical point of view, the building in the form of script I stands out because it is made of concrete, ceramic floor, roofed and painted brightly between bamboo-shaped huts and leaf-roofed with tarpaulin patches.

Inside were three rooms with rows of wooden benches and chairs, a blackboard in front of the room, while there were seats and a single bench in the corner. Starting at 08.00 local time until 15:00 local time the building was filled with children.

"There are 395 students in this school We need to add teachers but the government only provides four teachers How can we teach well We teach full day, morning classes starting at 08.00 local time until 12:00 local time The afternoon class starts at 13:00 Local until 15:00 local time, "said one teacher M. Amin.

That is the picture of the aid school of the Indonesian people, channeled by the humanitarian Justice for Peoples Justice (PKPU), for the conflict areas of Rakhine. The school was inaugurated by Indonesian Foreign Minister Retno Marsudi in January 2017.

But one classroom was already leaking so no longer used.

For decades, the northern state of Myanmar has experienced sectarian conflict between the Buddhist ethnic majority Rakhine and the generally Muslim minor Rohingya.

When Myanmar authorities banned international NGOs from entering areas affected by military operations in Rakhine, several Indonesian NGOs have been operating there since 2012, including PKPU.

An Indonesian aid school is expected to be a peacekeeping pad in Myanmar
The refugees of his Spirit were crammed into the camp of Bangladesh
Hundreds of thousands of Rohingyas escaped from Myanmar to Bangladesh
Initially, this school is being used by cross-ethnic students, such as Rakhine, Chin and Rohingya ethnic groups, leading to a mixture that leads to peace at the younger generation level.

But that may be a hope for this phase because the Indonesian aid school in Hla Ma Chay village, on the outskirts of Rakhine's capital, Sittwe, is only used by Rohingya students.

'Two versions of names similar to Orba'
Four of his teachers are Rohingyas, their principals are Rakhine but only come to school on special occasions. They are paid by the Rakhine state government.

"They are all Rohingya students, no students from the Rakhine community There is a nearby village inhabited by Rakhine people, but the students we are educated are Rohingya children, no Rakhine ethnic students," explained M Amin.

Like the Rohingyas in general in Myanmar, he has two names: M Amin the name Rohingya and Maung Chit Khin, the name of Myanmar. This condition is similar to the New Order era in Indonesia when Chinese citizens commonly adopt local names.

I also ask why there are no students from other ethnic groups in the school even though near the school neighborhood there are villages inhabited by other communities.

"Why, I do not know We teach Rohingya children Rakhine children study in other schools Before the riots, in the old school before the new building was built, the teacher is a Rakhine," replied M Amin.

"But after the violence happened, the teachers did not come again to teach these Rohingya children, I do not know why they do not teach the Rohingya students anymore, but I think they hate the Rohingya Muslims."

One observer said there was a way out of negative sentiment towards the Rohingyas - which Myanmar does not consider to be a citizen but as a migrant from Bangladesh to be called 'the Bengalis or the Muslims'.

The Rakhine intellectual, Aung Myo Oo, argues that good intentions of opposing groups in society are needed to overcome them.

"At the field level, we must measure the tolerance levels of both Rakhine and other communities and see what they have in common to live side by side, in the end they live on the same land even though the settlements are fragmented.They drink water from the same source, "He explained to BBC Indonesia.

Reconciliation through education?
Unfortunately, according to Aung Myo Oo, for the present stage they seem to be unprepared for not reaching a common ground on how to resolve religious, economic and social conflicts.

On the economic front, for example, the Rakhine community accused the Rohingyas of annexing their ancestral land, while the Rohingyas insisted that Rakhine was his ancestral land as well.

Perhaps, clearly Aung Myo Oo, the tension can be suppressed if the mindset of the younger generation begins to be changed towards reconciliation,



Sabtu 22 Juli 2017, 10:05 WIB (see translation in spoiler button above)
Indonesian School of Relief in New Rakhine Utilized by Rohingya Students
BBC World - detikNews


9ef43e80-08db-4caa-b244-b3e3b99a6328.jpg


Yangon - Dari segi fisik, bangunan berbentuk aksara I itu tampak menonjol karena terbuat dari beton, berlantai keramik, beratap dan bercat cerah di antara gubuk-gubuk berdinding bambu dan beratap daun dengan tambalan terpal.

Di dalamnya terdapat tiga ruang dengan deretan bangku dan kursi kayu, papan tulis di depan ruang, sementara di pojok terdapat kursi dan bangku tunggal. Mulai pukul 08.00 waktu setempat hingga pukul 15.00 waktu setempat gedung itu dipenuhi anak-anak.

"Terdapat 395 siswa di sekolah ini. Kita perlu menambah guru tetapi pemerintah hanya menyediakan empat guru. Bagaimana kami bisa mengajar dengan baik? Kami mengajar sehari penuh, kelas pagi mulai pukul 08.00 waktu setempat hingga pukul 12.00 waktu setempat. Kelas siang mulai pukul 13.00 waktu setempat hingga pukul 15.00 waktu setempat," kata salah seorang guru M. Amin.

Itulah gambaran sekolah bantuan dari rakyat Indonesia, yang disalurkan oleh lembaga kemanusiaan Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), untuk wilayah konflik Rakhine. Sekolah diresmikan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, pada Januari 2017.

Tapi satu ruang kelas ternyata sudah bocor sehingga tak digunakan lagi.

Selama puluhan tahun, negara bagian Myanmar di bagian utara itu telah mengalami konflik sektarian antara mayoritas etnik Rakhine yang beragama Buddha dan kelompok minoritas Rohingya yang pada umumnya Muslim.

Ketika otoritas Myanmar melarang LSM internasional masuk ke daerah-daerah yang terkena dampak operasi militer di Rakhine, beberapa LSM Indonesia sudah beroperasi di sana sejak 2012, termasuk PKPU.

Gagasan awalnya, sekolah ini dimanfaatkan oleh siswa lintasetnik, seperti etnik Rakhine, Chin dan Rohingya sehingga terjadi pembauran yang mengarah ke perdamaian di tingkat generasi muda.

Namun mungkin itu tinggal harapan untuk tahap ini sebab sekolah bantuan Indonesia di Desa Hla Ma Chay, di pinggiran ibu kota Rakhine, Sittwe ini, hanya digunakan oleh siswa-siswa Rohingya.

'Dua versi nama mirip Orba'
Empat gurunya adalah orang Rohingya, kepala sekolahnya orang Rakhine tetapi hanya datang ke sekolah pada acara-acara khusus. Mereka digaji oleh pemerintah negara bagian Rakhine.

"Mereka semua siswa Rohingya, tidak ada siswa dari komunitas Rakhine. Ada kampung di dekat sini yang dihuni oleh orang-orang Rakhine, tapi siswa yang kami didik adalah anak-anak Rohingya. Tidak ada siswa etnik Rakhine," jelas M Amin.

Seperti orang-orang Rohingya pada umumnya di Myanmar, ia punya dua nama: M Amin nama Rohingya dan Maung Chit Khin, nama Myanmar. Kondisi ini sama dengan zaman Orde Baru di Indonesia ketika warga negara dari keturunan Cina lazimnya mengadopsi nama setempat.

Saya juga tanyakan kenapa tidak ada siswa dari etnik lain di sekolahnya padahal di dekat lingkungan sekolah itu ada desa yang dihuni komunitas lain.

"Kenapa? Saya tidak tahu. Kami mengajar anak-anak Rohingya. Anak-anak dari etnik Rakhine belajar di sekolah-sekolah lain. Sebelum kerusuhan, di sekolah yang lama sebelum dibangun gedung baru ini, gurunya adalah orang Rakhine," jawab M Amin.

"Tetapi setelah kekerasan terjadi, para guru tidak datang lagi untuk mengajar anak-anak Rohingya ini. Saya tidak tahu kenapa mereka tidak mengajar siswa Rohingya lagi, tetapi saya pikir mereka membenci orang-orang Muslim Rohingya."

Seorang pengamat mengatakan ada jalan ke luar atas sentimen negatif terhadap kelompok Rohingya -yang oleh Myanmar tidak dianggap sebagai warga negara tetapi sebagai pendatang dari Bangladesh sehingga dipanggil 'orang-orang Bengali atau orang-orang Muslim'.

Cendekiawan asal Rakhine, Aung Myo Oo, berpendapat diperlukan niat baik dari kelompok-kelompok yang bertentangan di masyarakat untuk mengatasinya.

"Di tataran lapangan, kita harus mengukur tingkat toleransi baik dari kelompok Rakhine maupun komunitas lain dan melihat hal yang menjadi kesamaan untuk hidup berdampingan. Pada akhirnya mereka hidup di atas tanah yang sama meskipun permukimannya terpisah-pisah. Mereka minum air dari sumber yang sama," jelasnya kepada BBC Indonesia.

Rekonsiliasi lewat pendidikan?
Sayangnya, menurut Aung Myo Oo, untuk tahap sekarang mereka tampaknya belum siap berdamai karena belum mencapai pijakan bersama tentang bagaimana akan menyelesaikan konflik agama, ekonomi dan kehidupan sosial.

Di sisi ekonomi, misalnya, komunitas Rakhine menuding Rohingya mencaplok tanah leluhurnya, sedangkan kelompok Rohingya bersikukuh Rakhine adalah tanah leluhurnya pula.

Mungkin, jelas Aung Myo Oo, ketegangan dapat ditekan jika pola pikir generasi muda mulai diubah mengarah ke rekonsiliasi, hidup berdampingan, dan saling menerima.

Tapi tampaknya hal itu tidak tercermin dalam kurikulum yang diikuti anak-anak di sekolah di Hla Ma Chay, yang mengikuti kurikulum nasional Myanmar, termasuk mata pelajaran wajib geografi, bahasa Myanmar, dan pendidikan kewiraan yang mengajarkan kecintaan pada negara.

Duta Besar Indonesia untuk Myanmar, Ito Sumardi, yang turut berperan dalam pendirian sekolah bantuan Indonesia, mengesampingkan anggapan bahwa sekolah itu tidak inklusif dan gagal menjadi titian perdamaian di wilayah konflik.

"Kepala sekolahnya beragama Buddha, murid-muridnya kebanyakan orang Muslim. Kenapa komunitas Buddha di sana kurang memanfaatkan? Karena memang sekolah dibangun di tempat yang mayoritas warganya adalah orang Muslim," jelas Dubes Ito Sumardi.

Namun kepala sekolah yang disebutkan oleh Duta Besar Ito Sumardi hanya datang dalam acara-acara khusus sehingga tidak terlibat langsung dalam kegiatan belajar mengajar setiap hari.

Ito Sumardi meyakini pendidikan dan fasilitas-fasilitas lain yang direncanakan akan dibangun pada akhirnya akan dapat merangkul semua kelompok masyarakat.

"Jadi kita kalau melihat bantuan dari Indonesia yang di Sittwe itu memang situasinya belum kondusif, kemudian keinginan masyarakat di situ untuk sekolah masih rendah. Tapi itu adalah salah satu upaya untuk bagaimana, melalui pendidikan, melalui pasar yang direncanakan, melalui rumah sakit, di situlah bisa berkumpul semua komunitas karena mereka secara umum membutuhkannya."

Bagaimanapun, para siswa dari kelompok Rohingya, berharap mereka dapat menimba ilmu sebanyak mungkin dari sekolah SD ini untuk mewujudkan cita-cita mereka.

"Saya ingin menjadi insinyur setelah lulus sekolah," ungkap Ebdullah, 11.

"Saya ingin menjadi guru," kata Um Habiba, 10.

Mereka mungkin masih terlalu belia untuk memahami bahwa setelah lulus dari sekolah ini, maka akses ke pendidikan yang lebih tinggi sangat terbatas bagi mereka.

Soalnya, kelompok etnik mereka tak masuk dalam daftar 135 etnik yang resmi diakui di Myanmar sehingga mereka tidak boleh masuk ke sekolah-sekolah negeri. Adapun untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi swasta akan terhambat oleh biaya.

Untuk sementara inilah sarana pendidikan resmi di Desa Hla Ma Chay yang menjadi tumpuan bagi 1.700 penduduk Rohingya itu. ***

(nvc/nvc)

https://news.detik.com/bbc-world/d-...a-di-rakhine-baru-dimanfaatkan-siswa-rohingya
thanks.
 
We already jointly own theirs by virtue of them acquiring :D...its why no one will give them any proper goodies or real military networking.



Polevaulter bongloid laughing...one of the worlds funniest sights....when the world cares in first place :)

Effeminate Indi-apes will never stop dreaming of fairytales! :)
 
RMA Group opens Ford assembly facility in Myanmar
May 26, 2017

RMA Group, distributors for Ford in Myanmar, proudly announces that for the first time in Ford’s history, Ford vehicles will be assembled in Myanmar at the new Ford assembly plant in Yangon.

Known as Capital Motor Limited Assembly Plant, the purpose-built facility is a joint venture between RMA Group and Capital Automotive Ltd, a subsidiary of the Capital Diamond Star Group.

The facility has kicked off operations with the New Ford Ranger and All-New Ford Everest, available to customers in various specification and engine varieties. Both vehicles come with an industry leading 5 year/100000km manufacturer’s warranty.

“We are extremely excited by the opening of our new plant, as we will now be manufacturing both Ford Ranger and Everest and making these more accessible to customers in Myanmar at very competitive prices. While up until now, the new Ranger and Everest vehicles were imported from Thailand, the investment in a new SKD (semi-knocked down) plant also provides added job opportunities, as well as operator skills training and technology transfer”, says Chris Manley, Country Manager of RMA Myanmar.

https://www.rmagroup.net/all-news-update/rma-group-opens-ford-assembly-facility-myanmar/
 
well. may be or may be not. if india provide full loan for our subs , we will happily accept it. :P joint own ? brilliant ..!! u should ask BD navy to jointly own with India. so no need to worry about shortage of sub in any case. :D

We will happily give you INS Viraat mate.....we can surely work on lease of a sub or two for 10 years....A Kolkata class destroyer & 17A frigate.....Myanmar is our Ally....We will arm it to teeth so that no bloody fifth rated nation can threaten it's security & Integrity....Sources suggest that NSA Doval is also keen to provide the Nuclear umbrella to our beloved eastern neighbor as Myanmar is our bridge to East Asia....

On another note, we should seriously start discussing on the new sea area which will be developed by the sinking of BD in BoB....How to divide the waters between us? I guess we should share between us on the latitude passing through soon to be the sunk capital of BD i.e. Dhaka....Wat say?

Long Live Indo-Myanmar friendship!!!
 
We will happily give you INS Viraat mate.....we can surely work on lease of a sub or two for 10 years....A Kolkata class destroyer & 17A frigate.....Myanmar is our Ally....We will arm it to teeth so that no bloody fifth rated nation can threaten it's security & Integrity....Sources suggest that NSA Doval is also keen to provide the Nuclear umbrella to our beloved eastern neighbor as Myanmar is our bridge to East Asia....

On another note, we should seriously start discussing on the new sea area which will be developed by the sinking of BD in BoB....How to divide the waters between us? I guess we should share between us on the latitude passing through soon to be the sunk capital of BD i.e. Dhaka....Wat say?

Long Live Indo-Myanmar friendship!!!
ha ha ha thz. bro :D
Navy have plan to order more sonar for 2 naval ships which will commission at the end of this year. steady growth in trade will help us to be closer. yes. Indo-Myanmar friendship will never end. bro :D

motherships :D
FB_IMG_1500882344899.jpg

FB_IMG_1500882348090.jpg
 
Training and purchasing are two different things you know. We have been training our submariners for almost 10 years before finally acquiring in 2017. In fact, the ads for Navy recruitment also began to include positions of submariners since at least 2013. And I'm not even talking about necessary infrastructure like submarine base, maintenance etc. Not saying you won't purchase a sub, but it will take time. Of course, I'm willing to concede if you show me credible links discussing deals about purchasing a submarine.

assuming you have the cash purchasing the sub is the easy part
training and operations are the hard part
 

Back
Top Bottom